TUFA – TUFA + FEMALIA

Tufa Femalia Tufa Femalia-1 Tufa TufaTufa Tufa Bc

TUFA
TUFA (2003) + FEMALIA (2004)
2 CD
Kondisi baru
Rp.100rb

Kontak 0859 7490 5769

 

Tufa:
Tufa features an experimental fusion of Southeast Asian sounds and electronica. There are mellow electronic and percussive beats with acoustic voice and fretless bass. The group creates a spatial soundscape with a multi-layered texture drawn from a wide variety of sources; Pentatonic melodies mix with Indian/Middle Eastern scales; hints of bluesy-jazz grooves blend with subtle samples; tone poems merge with Chinese chants.

The entire production, under the aesthetic direction of Wei-Zen Ho and the mentorship of Justo Diaz, involves collaboration with visual artists using different mediums to convey the mood and ambience of the music. At the moment the visuals are based on digital video and slide projections.

The latest album by Tufa is entitled Femalia. The music on this album depicts experiences of lead vocalist, Wei-Zen Ho, her migration – both physical and metaphorical- from Malaysia to Australia, and how she has integrated the influences of her Malay-Chinese heritage with the diverse cultural offerings of Australia. Wei-Zen did not grow up in a purist culture, and this is felt strongly through the music and performance of Tufa: ambient soundscapes mix with jazz, blues and performance poetry, experimental electronica merges with world music, the Malay language and Chinese chants are fused with contemporary English.

Albums:
Single: Kwei Lin
Single: Maybe Tomorrow
Tufa/Self Titled (2003)
Femalia (2004)

Info: http://worldmusiccentral.org/artists/artist_page.php?id=2282

 

NANA MOUSKOURI – LIVE AT THE ROYAL ALBERT HALL

Nana Mouskouri Farewell Tour Fr     Nana Mouskouri Farewell Tour Bc

NANA MOUSKOURI
LIVE AT THE ROYAL ALBERT HALL
1 DVD, 38 Tracks
Nema Productions, 2012
RP.70rb

Kontak 0859 7490 5769

Captured live on Nana Mouskouri’s Farewell Tour in 2007, this previously unreleased concert features Nana serenading a packed house at London’s Royal Albert Hall with an eclectic multilingual set of songs spanning from Beethoven to Bob Dylan.

THE SONGS OF BOB DYLAN

Bob Dylan Songs-1 Bob Dylan Songs-2

THE SONGS OF BOB DYLAN
State of the Art Records, 1989
2 kaset, 32 artis/lagu
Kaset impor, bekas, masih bagus, sampul dalam ada tulisan nama dan tandatangan.
Rp.80rb

Kaset 1 A

  1. Sam Cooke – Blowin’ In The Wind
  2. Bryan Ferry – A Hard Rain’s Gonna Fall
  3. Bobby Bare – Don’t Think Twice It’s Alright
  4. Elvis Presley – Tomorrow’s A Long Time
  5. Blue Ash – Dusty Old Playgrounds
  6. Johnny Cash – It Ain’t Me, Babe
  7. Rod Stewart – Mama You Been On My Mind
  8. Flying Burrito Brothers – If You Gotta Go, Go Now

Kaset 1 B

  1. The Byrds – Mr. Tambourine Man
  2. New Riders Of The Purple Sage – Farewell Angelina
  3. Them – It’s All Over Now, Baby Blue
  4. Stills-Kooper-Bloomfield – It Takes A Lot To Laugh, It Takes A Train To Cry
  5. Gary US Bonds – From A Buick 6
  6. Judy Collins – Just Like Tom Thumb’s Blues
  7. Jason & The Scorchers – Absolutely Sweet Marie
  8. Siouxie & The Banshees – This Wheel’s On Fire

Kaset 2 A

  1. Tom Robinson Band – I Shall Be Released
  2. Richie Havens – I Pity The Poor Immigrant
  3. Jimi Hendrix – All Along The Watchtower
  4. Hoyt Axton – Lay Lady Lay
  5. Tina Turner – Tonight I’ll Be Staying Here With You
  6. George Thorogood – Wanted Man
  7. Carl Perkins – Champaign Illinois
  8. The Band – When I Paint My Masterpiece

Kaset 2 B

  1. Joe Cocker – Watching The River Flow
  2. Eric Clapton – Knockin’ On Heaven’s Door
  3. Joan Baez – Simple Twist Of Fate
  4. Jerry Lee Lewis – Rita Mae
  5. The Everly Brothers – Abandoned Love
  6. Ron Wood – Seven Days
  7. Ry Cooder – Need A Woman
  8. Bonnie Raitt – Let’s Keep It Between Us

Stambul Terang Bulan Untuk Martha

Terang Boelan
Terang Boelan di kali
Buaya timbul disangkalah mati
Jangan percaya mulutnya lelaki
Berani sumpah tapi takut mati
Jangan percaya mulutnya lelaki
Berani sumpah tapi takut mati

krontjong ensemble pantja warna front

Selain lagu-lagu seperti “Indonesia Tanah Airku”, “Indonesia Pusaka”, “Tanah Airku”, dan lagu-lagu jadul karya Ibu Sud, Ibu Kasur, atau A.T. Mahmud, saya juga senang menyanyikan lagu-lagu keroncong lama sebagai pengantar tidurnya Martha. Salah satunya “Terang Boelan”, lagu pantun yang berisi nasihat untuk kaum perempuan dalam menjalani pengalaman percintaan. Isi lirik lagu ini mungkin tidak cocok untuk anak-anak, namun saya merasa melodi lagunya cocok sekali untuk dipakai sebagai lullaby.

Saya sudah tidak ingat kapan pertama kali mendengar lagu “Terang Boelan”. Mungkin sekali di awal tahun 1980-an melalui program-program TVRI saat itu. Ada beberapa program acara musik pop yang cukup sering saya ikuti waktu itu, seperti Kamera Ria, Aneka Ria, termasuk juga Candra Kirana yang waktu itu terkesan lebih serius dibanding program-program musik lainnya. Dalam ingatan saya program-program televisi ini memang cukup sering menampilkan lagu-lagu lama yang dinyanyikan kembali oleh penyanyi populer pada waktu itu.

Belakangan, setelah berkenalan dengan musik kroncong barulah saya menjadi lebih akrab dengan lagu “Terang Boelan”. Lirik yang saya kenal memang hanya satu bait saja seperti yang tertulis di atas. Namun aneh juga karena dari berbagai sumber saya temukan ada variasi lirik lain yang malah lebih populer, yaitu lirik yang memasukkan bagian lagu lain “Waktu Potong Padi” ke dalam lirik lagu “Terang Boelan”. Mungkin karena pada tahun 1980-an pernah populer rekaman dari Rudi van Dalm yang mengaransemen kedua lagu tersebut dalam sebuah medley?

Saat ini ada belasan versi lagu “Terang Boelan” dalam koleksi musik saya. Salinan lirik di atas adalah yang paling umum ditemui. Memang ada kebiasaan dulu untuk membuat sedikit variasi lirik (dan musik) yang disesuaikan dengan gaya nyanyian (atau musik) setiap kelompok atau penyanyi. Sebagian koleksi tersebut : George de Fretes & His Hawaiian Minstrels, George de Fretes & zijn Suara Istana, Rudy van Dalm & The Royal Rhythmics, Rudy van Dalm & His Raindrops, Orkes Pantja Warna, The Kilima Hawaiians, Wieteke van Dort, Anne Gronloh, dll.

Lagu “Terang Boelan” pertama kali diterbitkan oleh Lokananta Records pada tahun 1956. Belakangan setelah ada dugaan kemiripan dengan lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku”, Lokananta berniat menuntut pemerintah Malaysia dengan tuduhan telah melakukan penjiplakan. Tapi benarkah begitu?
Tersebutlah pada tahun 1938 ada sebuah film romantis yang sangat laris berjudul “Terang Boelan”. Film ini diproduksi oleh perusahaan ANIF (Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat) dengan pemain utama penyanyi keroncong yang sedang populer, Miss Roekiah, lalu ada Kartolo (suami Roekiah dan orangtua Rahmat Kartolo, penyanyi populer tahun 1960-an), Rd. Mochtar, dan E.T. Effendi. Sebagai pengiring musik adalah orkes Lief Java yang dipimpin oleh H. Dumas.

Film “Terang Boelan” sebetulnya merupakan film hiburan semata (roman picisan) yang terinspirasi oleh film-film Hollywood yang dibintangi oleh Dorothy Lamour. Biasanya berkisah tentang kehidupan masyarakat primitif dengan pemandangan eksotis suasana kepulauan di Lautan Pasifik seperti Hawaii. Begitulah “Terang Boelan” berkisah tentang Kasim dan Rohaya yang hidup di Pulau Sawoba. Hubungan cinta pasangan ini terhalang oleh ayah Rohaya yang menginginkan putrinya menikah dengan Musa. Untuk menghindari paksaan ayahnya, Rohaya dan Kasim memutuskan kabur dengan sampan menuju Malaka. Musa mengejar pasangan ini hingga ke Malaka dengan menyamar sebagai pedagang candu dari Singapura. Saat mendapati Rohaya tengah sendirian, Musa dan ayah Rohaya berhasil memaksa dan membawa pulang Rohaya kembali ke Sawoba. Kasim balik mengejar Musa ke Sawoba hingga terjadi perkelahian sengit antara keduanya. Kasim memenangkan perkelahian dan ayah Rohaya serta penduduk Sawoba insyaf bahwa selama ini mereka telah salah memperlakukan pasangan Kasim dan Rohaya. Film berakhir dengan happy ending.

Salah satu lagu yang ditonjolkan dalam film ini adalah “Terang Boelan” yang dinyanyikan oleh Rd. Mochtar. Namun Rd. Mochtar ternyata tidak mampu menyanyikan bagian nada tinggi, sehingga untuk itu Ismail Marzuki, personil Lief Java sekaligus pencipta lagunya, membantu menyanyikannya. Mungkin sejak film ini kemudian orang menganggap lagu “Terang Boelan” sebagai karya asli Ismail Marzuki hingga kemudian direkam oleh Lokananta pada tahun 1956.

Film “Terang Boelan” menuai sukses besar pada tahun 1938 hingga ke Singapura dan Malaysia, demikian pula dengan ilustrasi musiknya yang mendapatkan perhatian luas. Bahkan impresario Robert Chiang mengundang Lief Java & The Sweet Java Islander untuk tampil di beberapa kota Malaysia dan Singapura. Rombongan tour ini pun lalu dinamakan Terang Boelan Party sesuai dengan judul film yang memopulerkannya.

Belakangan lagu “Terang Boelan” jadi kontroversi karena dianggap telah dijiplak oleh Malaysia menjadi lagu kebangsaan negerinya, “Negaraku”. Namun Malaysia tak mau kalah dengan mengemukakan fakta bahwa melodi lagu yang dipakai untuk anthem “Negaraku” berasal dari lagu kebangsaan negeri Perak “Allah, Lanjutkan Usia Sultan” yang sudah ada sejak akhir abad 19 lalu.
Nah, seperti apakah ceritanya?
Nantikan saja sambungannya, hehe…

Kecir-Kecir Untuk Martha

Inilah lagu berjudul “Kecir-Kecir” yang dibawakan oleh kelompok The Evergreens. Tak ada informasi apa pun yang saya miliki tentang kelompok ini, baik dari sampul piringan hitamnya atau pun dari sumber-sumber lain seperti internet. Sama sekali gelap. Informasi dari sampul piringan hitam hanyalah penerbit dan nomor serinya saja, Philips 51067. Selain itu terdapat tulisan tentang bintang tamu dalam album ini yaitu Annie Cherie. Masing-masing sisi piringan hitam berisi enam lagu sehingga total berjumlah 12 lagu yang kesemuanya berbahasa Indonesia. Beberapa lagu tradisional (Sarinande, Nina Bobo, Es Lilin, Hela Rotan) dan lainnya karya kontemporer (Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, Jauh di Mata, Doa & Restumu, Telaga Biru) yang saya duga berasal dari tahun 1950-an.

Memerhatikan logat penyanyinya, saya merasa dia bukan orang Indonesia dan berasal dari barat (Belanda?) sesuai dengan asal perusahaan rekamannya. Pada vokalis perempuan terasa gaya menyanyi dengan aksen indies medok (Hela Rotan) yang mirip dengan penyanyi populer, Wieteke van Dort. Pada lagu “Irian” seluruh liriknya menggunakan bahasa Belanda. Sampul album berupa foto berwarna yang menggambarkan suasana di sudut pasar dan tampak tidak berhubungan sama sekali dengan isi album, mungkin dimaksudkan sebagai nostalgia saja.

annie cherie tokeh tokeh front2
Sampul album Tokeh-Tokeh yang sudah sobek bagian depannya

Yang cukup unik, pada lagu “Kecir-Kecir” terdapat dua buah kesalahan, (1) Judul semestinya adalah Kecil-Kecil, mungkin ini salah cetak, dan (2) lirik pantun yang dinyanyikan ternyata terbalik..
Lirik selengkapnya :
Kecil-kecil nona dari timur, nona
Bolehlah juga, bolehlah juga membungkus nasi
Kecil-kecil daun ketimbar, nona
Bolehlah juga, bolehlah juga membujuk hati
Bagian sampiran dari pantun ini diletakkan pada baris 3, padahal seharusnya di baris 1. Sebaliknya, bagian isi yang semestinya ada di baris 3 malah diletakkan di baris 1, sehingga pantun lagu ini menjadi lucu karena terbalik urutannya..

Lagu “Kecir-Kecir” dimainkan dengan aransemen sederhana bergaya country-rock seperti yang populer di Amerika dan Inggris pada sekitar akhir tahun 1960-an. Agak bergaya The Beatles atau Creedence Clearwater Revival terutama pada permainan gitar elektrik, sehingga saya menyimpulkan bahwa album ini juga terbit di masa yang sama (akhir tahun 1960-an). Musik dan nyanyian tampak sengaja tidak dimainkan dengan power berlebihan sehingga masih terasa membuai walaupun nuansa musik rock tetap terasa. Malah pada “Es Lilin” yang dimainkan secara instrumental dengan dominasi permainan solo pada gitar elektrik suasana musik rock terasa sangat kental.


Piringan hitam Tokeh-Tokeh

Sungguh saya menyukai kesederhanaan lagu ini sehingga sering saya gunakan untuk menina-bobokan putri tercintaku, Martha. Ternyata pada hari ulang tahun keduanya kemarin (28 Maret), Martha berulang kali memintaku untuk menyanyikannya, dan setelah beberapa kali saya nyanyikan, Martha sudah bisa mengikuti dan hafal liriknya…
Khusus untuk Martha, saya ubah liriknya menjadi :
Kecil-kecil Atta dari timur, nona
Bolehlah juga, bolehlah juga membujuk hati
Kecil-kecil Atta dari timur, nona
Bolehlah juga, bolehlah juga menghibur Papa..

Sebelumnya untuk Martha saya sering menyanyikan lagu-lagu tempo dulu untuk pengantar tidurnya selain Nina Bobo, seperti Terang Bulan, Indonesia Pusaka, Tanah Airku, Ibu Pertiwi, dll. Senang sekali perbendaharaan lagu Martha bertambah lagi…

31 Maret 2010

Beberapa catatan tambahan dapat dilihat dalam diskusi di
http://www.facebook.com/note.php?note_id=378484586486

Damai Tapi Gersang, Juni 2010

by Ridwan Hutagalung on Tuesday, June 15, 2010 at 3:20pm

Cerita kecil tentang “Damai Tapi Gersang” :
Jalan-Jalan di kawasan perbukitan Patahan Lembang

Seindah dalam kata
Seindah dalam cinta
Bilakah segala-galanya bersatu

Tetapi kenyataan
Hidupnya pengorbanan
Tinggal penghabisan lamunan, berlalu

Semua kehidupan dia
Berkhayal tinggal yang ada
Rindu sayangi sesama
Hidupmu sebentar saja

Seharum wangi bunga
Hidupmu bersandiwara
Seribu bertanya senada, merayu

Tetapi kenyataan
Hidup berliku ganda
Tinggalkan bertanya, bertanya.. tiada

Dan kini tiba saatnya
Bahagia datang padanya
Semua saling mencinta di kedamaian yang ada

13 Juni 2010 komunitas Aleut! secara agak spontan (seperti biasanya ini mah) menentukan jalur perjalanan hari ini adalah kukusrukan di perbukitan sisi selatan Patahan Lembang. Rute dengan nama ini merupakan kali kedua yang dilakukan oleh Aleut! Yang pertama dilakukan lebih setahun lalu, 8 Februari 2009, dengan peserta hampir 70 orang. Jarak yang ditempuh saat itu mencapai 20 km dengan rute Terminal Dago-Warung Bandrek/Sekejolang-Ciharegem Girang-Tugu-Warung Daweung/Bongkor-Caringin Tilu. Jalur pulang dengan jalan aspal dari Caringin Tilu ke Padasuka yang terus menurun sepanjang hampir 8 km membuat banyak peserta yang tersiksa dan cedera ringan. Karena itulah jalur pikasebeleun ini dihapuskan dari program Aleut!

Tapi sebenarnya dengan kelompok yang lebih kecil, saya pernah beberapa kali menjalani kawasan perbukitan utara ini. Mulai dari sekitar Peneropongan Bosscha, Maribaya, Cibodas, Pasir Angling, Suntenjaya, Batuloceng, Sasak Beureum, Gunung Kasur, sampai Palintang, Cilengkrang, Cikahuripan, Pasir Impun, Pasir Honje, dll dll. Berdasarkan pengalaman itu maka untuk rute kali ini saya pilih yang akan lebih banyak melewati kawasan hijau dan tidak mengarah ke selatan agar di jalur pulang dapat mampir ke situs Batuloceng, lalu pulang melalui Maribaya. Garis kasar rute ini adalah Terminal Dago-Warung Bandrek-Kordon-Ciharegem lalu menyusuri puncak perbukitan (jalan babagongan) untuk menuju jalan masuk ke Batuloceng melalui Kampung Suntenjaya (dari arah sebelah barat).

53 orang peserta ngaleut kali ini sebagian terbesar adalah mahasiswa yang berasal dari ITB (terbanyak), Unpad, NHI, UPI, Unisba, dan 3 orang pelajar dari SMA 4 dan SMA 9. Sebagian lainnya adalah peserta umum yang aktif dalam berbagai bidang. Mohon maaf saya tidak bisa mengingat satu persatu, bahkan untuk hanya sekadar nama… Ya umumnya mengatakan senang, surprised, fun atas petualangan hari ini, ya semoga persis begitu juga kesan yang ada dalam hati masing-masing, hehe..

Perjalanan komunitas Aleut! menyusuri sisi selatan Patahan Lembang kali ini ternyata buat saya mirip dengan judul lagunya Adjie Bandy ini. Seperti menghampiri suasana damai di dalam hutan pinus perbukitan utara Bandung namun harus menemui kenyataan bahwa di banyak bagian kawasan hutan ini sudah hilang, berubah menjadi ladang-ladang, menjadi gelombang perbukitan tanah merah yang gundul… Bagian dalam hutan yang awalnya merupakan jalan setapak, banyak yang sudah hancur dibantai para motoris. Kedalaman jejak ban pacul di jalan-jalan setapak ini bahkan ada yang mencapai hingga setengah meter. Para petani dan warga kampung dekat hutan terpaksa membuat jalan-jalan setapak baru di antara alang-alang dan semak agar terhindar dari kebecekan dan kelicinan jalan setapak yang sudah tergenang air hingga mirip kolam-kolam kecil.

Entah bagaimana awalnya tiba-tiba saja saat sharing nyanyian dengan Ayu, Ayu melontarkan sebuah judul “Damai Tapi Gersang”. Walah.. saya sempat terheran sebentar, namun hanya sebentar karena otomatis saja saya menyanyikan bait-bait awal sampai reffrain lagu yang bahkan sudah sangat lama tidak saya dengar ini. Saya terkejut sendiri, karena ternyata masih mengingat lirik lagunya dengan baik… Saya sempat heran karena masih ada orang yang ingat pada lagu karangan Adjie Bandy, musikus yang bahkan sudah terlupakan sejak akhir tahun 1980-an. Adjie Bandy, pemain biola, piano, vokalis dan komposer ini meninggal dalam keterpurukan hidup pada tahun 1992, ironis, mirip dengan judul lagu gubahannya sendiri, “Damai Tapi Gersang”.

Keheranan saya atas lontaran Ayu tidak berlangsung lama karena ternyata Ayu menyebutkan bahwa lagu ini juga dibawakan oleh Yuni Shara. Oke, berarti ada jejaknya di masa sekarang. Selain itu, saya ketahui ada juga versi lainnya dari d’Cinnamons tetapi dengan melodi yang agak diubah. Namun kedua versi ini sepengetahuan saya tidak pernah menjadi sangat populer seperti lagu aslinya. Hal lain yang menghapus keheranan saya adalah bahwa ternyata Ayu mempunyai dengaran musik populer yang luas. Setelah baris-baris lagu dari album Badai Pasti Berlalu, saya juga mendengar Ayu menyanyikan “You are the Sunshine of My Life”, atau “Aryati”. Komentar dalam hati saya saat itu, “ooohhh, pantesan…” hehe.

“Damai Tapi Gersang” ditulis oleh mantan personil band C-Blues dan Gypsy, Adjie Bandy, pada tahun 1977. Saat tampil dalam Festival Lagu Populer Indonesia tahun 1977, “Damai Tapi Gersang” hanya mendapatkan penghargaan sebagai juara kedua. Namun pada tahun yang sama ketika disertakan dalam World Popular Song Festival di Tokyo, “Damai Tapi Gersang” berhasil mendapatkan predikat juara untuk “Outstanding Composition Award”. Nama Adjie Bandy pun melesat sebagai salah satu penyanyi penting Indonesia saat itu. Sayangnya popularitas Adjie Bandy tidak berlangsung lama, Satu lagunya yang lain yang sempat cukup populer hanyalah “Kampus Biru” yang merupakan lagu tema dalam film berdasarkan novel populer Ashadi Siregar, “Cintaku di Kampus Biru”. Setelah itu, Adjie Bandy terus surut dan dilupakan zaman. Tetapi melalui “Damai Tapi Gersang” saya tidak pernah melupakannya…
“Damai Tapi Gersang” awalnya dinyanyikan oleh Adjie Bandy bersama istrinya, Yetty. Seingat saya, bersama Yetty pula Adjie Bandy menyanyikan lagu “Damai Tapi Gersang” di Festival Lagu Populer Indonesia 1977. Namun untuk keperluan tampil di Tokyo, peran Yetty digantikan oleh biduanita populer dengan vokal mantap saat itu, Hetty Koes Endang. Kedua duet ini dapat ditemukan dalam rekaman piringan hitam dan kaset yang kemudian beredar saat itu. Duet dengan Yetty diterbitkan dalam bentuk piringan hitam dan kaset. Khusus untuk duet dengan Hetty Koes Endang diterbitkan dalam sebuah kaset kompilasi khusus yang berisikan lagu-lagu finalis World Popular Song Festival 1977.

Versi Yuni Shara yang baru saya dengarkan beberapa hari ini agak sukar membuat saya bahagia karena beberapa alasan : tidak adanya nyanyian harmoni atau bersahutan yang menjadi kekuatan utama lagu, adanya cuplikan motif lagu sontrek James Bond usai bait satu yang jelas tidak diperlukan, aransemen dan orkestrasi yang riweuh memecahkan konsentrasi saya pada melodi dan keutuhan lagu, kesan suara instrumen yang modern (manipulasi elektronis?) sehingga terasa steril banget, tidak kasar seperti dibawakan oleh Adjie Bandy, dan saya tidak dapat mengerti kenapa Yuni Shara harus mengucapkan kata “semua” dengan “e” lemah sehingga mirip “summua…”. Saya merasa lagu ini akan selalu terasa lebih pas bila tidak dibawakan dengan pemanis yang terlalu dibuat-buat. Oya, belakangan pianis Nico Bandy, anak Adjie Bandy, membawakan lagi “Damai Tapi Gersang” bersama grupnya Acoustic Punch dalam album pertama mereka “Debut”. Sayangnya saya belum pernah dengar yang terakhir ini.

Lagu “Damai Tapi Gersang” buat saya sangat menarik terutama saat belajar memainkan gitar pada waktu SMP dulu. Banyak akor gitar lagu-lagu lain yang cukup mudah saya kenali hanya berdasarkan perasaan saja, namun untuk lagu ini ternyata saya mendapatkan kesulitan. Melodi lagu yang tidak terlalu biasa dibandingkan lagu-lagu pop lainnya saat itu membuat saya maksa untuk terus dapat memainkannya dengan baik. Rangkaian akornya tidak biasa buat saya saat itu, terutama pada perpindahan nada minor ke mayor, dan tangga-nada yang terus dinaikkan pada bagian akhir lagu. Ya saya cukup disibukkan untuk mendapatkan rangkaian akor gitar lagu ini.

Setelah itu persoalan belumlah selesai, karena cara menyanyikannya pun cukup unik. Memasuki bait kedua, lagu dinyanyikan secara bersahutan atau susul-menyusul, mirip dengan Scarborough Fair-nya Simon & Garfunkel. Saya yang sama sekali tidak pandai menyanyi harus jungkir balik agar dapat menyanyikannya dengan harmonis bersama seorang teman lain. Perlu waktu cukup lama untuk dapat memainkan lagu “Damai Tapi Gersang” menggunakan gitar sambil bernyanyi harmoni. Setelah agak bisa, saya ketagihan menyanyikannya hingga bertahun-tahun dan memasukkan lagu ini dalam the soundtrack of my life hingga sekarang…

Mungkin ada yang merasa saya lebay mengaitkan keseluruhan perjalanan Aleut! Patahan Lembang kemarin dengan “Damai Tapi Gersang”, tapi tak apalah, saat ini saya hanya sedang ingin menggunakan hak saya untuk subjektif tanpa diganggu-gugat. Bagi yang ingin turut menikmati lagu “Damai Tapi Gersang” versi duet dengan Yetty, nanti saya coba bikinkan linknya untuk download.


Dan kini tiba saatnya
Bahagia datang padanya
Semua saling mencinta di kedamaian yang ada

Tulisan geje ini saya persembahkan juga bagi teman-teman yang baru patah hati, kesepian, dan aral.
Life’s too short to waste away thinking about love while actually it is all around you.

Ridwan Hutagalung
Pecinta Lagu

Damai Tapi Gersang WPSF Tokyo 1977B
Yang mana Adjie Bandy?

Karinding

by Ridwan Hutagalung on Tuesday, June 8, 2010 at 1:42pm

Catatan ini sebenarnya tulisan lama, sekitar 5 tahun lalu, yang saya buat untuk suatu keperluan. Saat itu fenomena lounge music atau chillout music sedang mewabah dan setiap saat saya mendengarkan drone atau dengungan alat musik purba dalam musik-musik elektronik modern dari seluruh dunia. Sayangnya alat musik itu bukan karinding…

P1440419B

Karinding yang Mencari Celah Hidup.
KEHIDUPAN memang sudah berubah. Dulu, di wilayah yang dipenuhi sawah dengan udara yang masih segar karena minimnya polusi serta suasana yang lebih hening daripada sekarang, masyarakat masih dapat menghibur diri sendiri dengan memainkan alat musik yang bernama karinding.

Namun sekarang? Dengan kondisi yang sudah berubah, sawah semakin sedikit tergantikan oleh pemukiman, atau pusat-pusat perbelanjaan dan industri, suasana pun menjadi lebih ramai dan hiruk-pikuk. Sarana menghibur diri? Sudah lebih banyak media yang memberikannya seperti radio, televisi, ataupun alat musik yang lebih populer seperti gitar dan lainnya.

Tentu saja hal itu membuat penggunaan alat-alat musik buhun menjadi tersingkir. Termasuk alat musik semacam karinding yang biasa dimainkan secara individual di daerah Jawa Barat. Ia semakin terpinggirkan dan dilupakan keberadaannya di Jawa Barat. Bahkan dianggap punah dan sudah tidak “dibudidayakan” lagi penggunaannya. Modernitas memang selalu mengorbankan banyak hal.

Karinding terbuat dari bilah bambu tipis berukuran panjang sekitar 15 cm dengan lebar sekitar 1,5 cm. Pada bagian tengah dibelah halus sehingga terbentuk semacam lidah memanjang yang dapat bergetar bila salah satu ujung alat ini kita pukul dengan jari. Untuk memainkan alat ini kita harus menempelkan bagian lidah yang bergetar di depan mulut yang berfungsi sebagai resonator. Dengan memain-mainkan rongga mulut kita dapat membuat beberapa karakter bunyi dengungan pendek yang menarik.

Alat musik semacam ini sebetulnya dikenal cukup luas dengan berbagai ragam bentuk dan nama, seperti genggong di Bali dan Lombok, ginggung di Madura, tung di masyarakat Dayak Kayan atau saga-saga di masyarakat Batak. Di Eropa juga dikenal alat sejenis dengan sebutan jew’s harp namun umumnya terbuat dari bahan metal. Walaupun peredaran alat musik ini cukup mendunia, namun konon asal-muasalnya adalah dari Asia Tenggara.

Di beberapa daerah di Indonesia, ada cukup banyak fungsi sosial alat musik ini walaupun pada umumnya lebih dipergunakan sebagai sarana menghibur diri. Pemuda Mandailing di Tapanuli Selatan menggunakannya untuk memberikan semacam tanda atau pesan kepada perempuan idaman yang berada di dalam rumah. Perempuan Dayak menggunakannya untuk membangunkan sang suami agar segera berangkat ke ladang. Sedang di Jawa Barat, menurut Entang Sumarna yang biasa dipanggil Abah, di masa mudanya karinding sering dipakai sebagai alat hiburan kala beramai-ramai memanen sawah atau saat menyambut datangnya gerhana. Tak jarang pula dipergunakan sebagai sarana hiburan pada waktu berpacaran.

karinding 1

Entang Sumarna dikenal masyarakat desa Sindang Pakuwon (Parakan Muncang) Cicalengka sebagai generasi terakhir yang masih mampu membuat karinding. Namun di usianya yang sudah menginjak 74 tahun, Abah merasa semakin kesulitan untuk melanjutkan pembuatan karinding terutama pada bagian lidah yang memerlukan ketelitian tinggi. Kalau sekedar memainkan, Abah masih menampakkan semangat yang tinggi walaupun kadang mengeluh juga karena usianya yang membuatnya cepat kehabisan napas.

Untunglah seorang putranya, Endang Sugriwa atau dikenal dengan nama panggilan Kolot, akhirnya menaruh minat pada seni ini. Mulai setahun lalu, Kolot menanggapi perubahan zaman dengan sedikit berbeda, dia justru belajar membuat karinding dengan tekun. Walau sejak kecil sudah dapat memainkan karinding, namun baru belakangan ini saja Kolot secara intensif menggaulinya. Kemudian, dengan mengajak sejumlah teman yang juga tertarik, Kolot mulai mereka-reka kemungkinan yang dapat dilakukannya. Di antaranya membuat adaptasi irama serta lagu buhun untuk menjadi repertoar permainan karinding dalam format ensembel, selain mengarang sendiri lagu yang disesuaikan dengan karakter alat musik yang dipergunakan. Alat musik lain yang ditambahkan dalam ensembel ini adalah alat musik bambu yang cara memainkannya mirip kolintang. Alat ini disebut celempung yang dalam ensembel berfungsi sebagai kendang, kosrek dan ridu-ridu yang merupakan tiruan dari alat musik tradisional aborijin didgeridoo dengan fungsi sebagai gong, serta vokal.

karinding 3

Kelompok yang kemudian terbentuk ini diberi nama Giri Kerenceng, mengambil nama gunung di daerah itu. Jumlah personilnya sekitar 8 orang. Mungkin karena masih kurang dikenal, kesempatan untuk tampil bersama kelompok masih belum banyak didapatkan. Kolot dkk cukup menyadari hal ini sehingga tidak terlalu kecewa atas kondisi ini. Namun lewat beberapa rekan seniman lain, Kolot dkk mendapatkan beberapa kesempatan untuk memberikan workshop pembuatan karinding ke beberapa daerah di Jawa Barat. Hasilnya, beberapa siswa peserta workshop nampaknya dapat diharapkan mampu membuat karinding dengan baik. Tentunya diharapkan melalui proses ini dapat terjadi semacam revitalisasi bagi seni karinding ini. Hal tersebut dapat ditangkap dari sikap Kolot yang bersemangat bila ada undangan melakukan workshop.

Dari seluruh personil Giri Kerenceng, hanya Kolotlah yang mahir dalam pembuatan karinding, sehingga produksi karinding tidak dapat dilakukan dalam jumlah banyak. Beberapa pesanan yang datang kemudian tak dapat dipenuhi bila jumlahnya melebihi kemampuan, maklum dari sekitar 10 usaha pembuatan dalam satu hari, paling-paling hanya 2 atau 3 buah saja yang dapat dikatakan memenuhi syarat karakter bunyi yang baik. Pada karinding buatannya, Kolot menambahkan karet pengikat pada badan resonator bambu sebagai penjepit karinding. Resonator dibuat dengan berbagai ukuran, mulai dari yang berukuran panjang sekitar 20 cm hingga yang mencapai 1 meter. Badan resonator diberi hiasan relief sederhana. Beberapa resonator yang berukuran besar diberi penutup pada bagian atas sebagai pelindung karinding agar tidak mudah rusak bila dibawa-bawa bepergian.

_P1440418B

Memang belum banyak yang dapat diproduksi dan dijual. Selama ini kadang-kadang saja ada peminat dalam jumlah kecil. Namun seorang rekan seniman mencoba membawa beberapa buah karinding buatannya ke Amerika serta memperkenalkannya pada seorang Denmark yang merekamnya dalam bentuk video, konon untuk tayangan televisi di sana.

Begitulah kesederhanaan menanggapi zaman yang dilakukan oleh Kolot dkk, seperti yang dikatakannya, “saukur neruskeun seni karuhun, dan generasi (panerus) na tos seep..”. Mungkin kita bisa renungkan lagi semangat semacam ini sambil menikmati dengungan didgeridoo, hentakan tabla atau jembe (dan bukan karinding) dalam rekaman-rekaman chillout music atau lounge music yang diputarkan di kafe-kafe bertaraf internasional di seluruh dunia.

Ridwan Hutagalung, 2005

Keterangan foto :
1. Entang Sumarna (Abah) dan putranya, Endang Sugriwa (Kolot) mendemonstrasikan cara memainkan karinding
2. Karinding buatan Endang Sugriwa alias Kolot, dengan resonator bambu yang dihias.
3. Endang Sugriwa alias Kolot, mencari celah hidup buat karinding

Sumber :

Keterangan tentang jenis-jenis jewsharp beserta fungsinya di beberapa daerah Nusantara dari etnomusikolog Asep Nata.