Damai Tapi Gersang, Juni 2010

by Ridwan Hutagalung on Tuesday, June 15, 2010 at 3:20pm

Cerita kecil tentang “Damai Tapi Gersang” :
Jalan-Jalan di kawasan perbukitan Patahan Lembang

Seindah dalam kata
Seindah dalam cinta
Bilakah segala-galanya bersatu

Tetapi kenyataan
Hidupnya pengorbanan
Tinggal penghabisan lamunan, berlalu

Semua kehidupan dia
Berkhayal tinggal yang ada
Rindu sayangi sesama
Hidupmu sebentar saja

Seharum wangi bunga
Hidupmu bersandiwara
Seribu bertanya senada, merayu

Tetapi kenyataan
Hidup berliku ganda
Tinggalkan bertanya, bertanya.. tiada

Dan kini tiba saatnya
Bahagia datang padanya
Semua saling mencinta di kedamaian yang ada

13 Juni 2010 komunitas Aleut! secara agak spontan (seperti biasanya ini mah) menentukan jalur perjalanan hari ini adalah kukusrukan di perbukitan sisi selatan Patahan Lembang. Rute dengan nama ini merupakan kali kedua yang dilakukan oleh Aleut! Yang pertama dilakukan lebih setahun lalu, 8 Februari 2009, dengan peserta hampir 70 orang. Jarak yang ditempuh saat itu mencapai 20 km dengan rute Terminal Dago-Warung Bandrek/Sekejolang-Ciharegem Girang-Tugu-Warung Daweung/Bongkor-Caringin Tilu. Jalur pulang dengan jalan aspal dari Caringin Tilu ke Padasuka yang terus menurun sepanjang hampir 8 km membuat banyak peserta yang tersiksa dan cedera ringan. Karena itulah jalur pikasebeleun ini dihapuskan dari program Aleut!

Tapi sebenarnya dengan kelompok yang lebih kecil, saya pernah beberapa kali menjalani kawasan perbukitan utara ini. Mulai dari sekitar Peneropongan Bosscha, Maribaya, Cibodas, Pasir Angling, Suntenjaya, Batuloceng, Sasak Beureum, Gunung Kasur, sampai Palintang, Cilengkrang, Cikahuripan, Pasir Impun, Pasir Honje, dll dll. Berdasarkan pengalaman itu maka untuk rute kali ini saya pilih yang akan lebih banyak melewati kawasan hijau dan tidak mengarah ke selatan agar di jalur pulang dapat mampir ke situs Batuloceng, lalu pulang melalui Maribaya. Garis kasar rute ini adalah Terminal Dago-Warung Bandrek-Kordon-Ciharegem lalu menyusuri puncak perbukitan (jalan babagongan) untuk menuju jalan masuk ke Batuloceng melalui Kampung Suntenjaya (dari arah sebelah barat).

53 orang peserta ngaleut kali ini sebagian terbesar adalah mahasiswa yang berasal dari ITB (terbanyak), Unpad, NHI, UPI, Unisba, dan 3 orang pelajar dari SMA 4 dan SMA 9. Sebagian lainnya adalah peserta umum yang aktif dalam berbagai bidang. Mohon maaf saya tidak bisa mengingat satu persatu, bahkan untuk hanya sekadar nama… Ya umumnya mengatakan senang, surprised, fun atas petualangan hari ini, ya semoga persis begitu juga kesan yang ada dalam hati masing-masing, hehe..

Perjalanan komunitas Aleut! menyusuri sisi selatan Patahan Lembang kali ini ternyata buat saya mirip dengan judul lagunya Adjie Bandy ini. Seperti menghampiri suasana damai di dalam hutan pinus perbukitan utara Bandung namun harus menemui kenyataan bahwa di banyak bagian kawasan hutan ini sudah hilang, berubah menjadi ladang-ladang, menjadi gelombang perbukitan tanah merah yang gundul… Bagian dalam hutan yang awalnya merupakan jalan setapak, banyak yang sudah hancur dibantai para motoris. Kedalaman jejak ban pacul di jalan-jalan setapak ini bahkan ada yang mencapai hingga setengah meter. Para petani dan warga kampung dekat hutan terpaksa membuat jalan-jalan setapak baru di antara alang-alang dan semak agar terhindar dari kebecekan dan kelicinan jalan setapak yang sudah tergenang air hingga mirip kolam-kolam kecil.

Entah bagaimana awalnya tiba-tiba saja saat sharing nyanyian dengan Ayu, Ayu melontarkan sebuah judul “Damai Tapi Gersang”. Walah.. saya sempat terheran sebentar, namun hanya sebentar karena otomatis saja saya menyanyikan bait-bait awal sampai reffrain lagu yang bahkan sudah sangat lama tidak saya dengar ini. Saya terkejut sendiri, karena ternyata masih mengingat lirik lagunya dengan baik… Saya sempat heran karena masih ada orang yang ingat pada lagu karangan Adjie Bandy, musikus yang bahkan sudah terlupakan sejak akhir tahun 1980-an. Adjie Bandy, pemain biola, piano, vokalis dan komposer ini meninggal dalam keterpurukan hidup pada tahun 1992, ironis, mirip dengan judul lagu gubahannya sendiri, “Damai Tapi Gersang”.

Keheranan saya atas lontaran Ayu tidak berlangsung lama karena ternyata Ayu menyebutkan bahwa lagu ini juga dibawakan oleh Yuni Shara. Oke, berarti ada jejaknya di masa sekarang. Selain itu, saya ketahui ada juga versi lainnya dari d’Cinnamons tetapi dengan melodi yang agak diubah. Namun kedua versi ini sepengetahuan saya tidak pernah menjadi sangat populer seperti lagu aslinya. Hal lain yang menghapus keheranan saya adalah bahwa ternyata Ayu mempunyai dengaran musik populer yang luas. Setelah baris-baris lagu dari album Badai Pasti Berlalu, saya juga mendengar Ayu menyanyikan “You are the Sunshine of My Life”, atau “Aryati”. Komentar dalam hati saya saat itu, “ooohhh, pantesan…” hehe.

“Damai Tapi Gersang” ditulis oleh mantan personil band C-Blues dan Gypsy, Adjie Bandy, pada tahun 1977. Saat tampil dalam Festival Lagu Populer Indonesia tahun 1977, “Damai Tapi Gersang” hanya mendapatkan penghargaan sebagai juara kedua. Namun pada tahun yang sama ketika disertakan dalam World Popular Song Festival di Tokyo, “Damai Tapi Gersang” berhasil mendapatkan predikat juara untuk “Outstanding Composition Award”. Nama Adjie Bandy pun melesat sebagai salah satu penyanyi penting Indonesia saat itu. Sayangnya popularitas Adjie Bandy tidak berlangsung lama, Satu lagunya yang lain yang sempat cukup populer hanyalah “Kampus Biru” yang merupakan lagu tema dalam film berdasarkan novel populer Ashadi Siregar, “Cintaku di Kampus Biru”. Setelah itu, Adjie Bandy terus surut dan dilupakan zaman. Tetapi melalui “Damai Tapi Gersang” saya tidak pernah melupakannya…
“Damai Tapi Gersang” awalnya dinyanyikan oleh Adjie Bandy bersama istrinya, Yetty. Seingat saya, bersama Yetty pula Adjie Bandy menyanyikan lagu “Damai Tapi Gersang” di Festival Lagu Populer Indonesia 1977. Namun untuk keperluan tampil di Tokyo, peran Yetty digantikan oleh biduanita populer dengan vokal mantap saat itu, Hetty Koes Endang. Kedua duet ini dapat ditemukan dalam rekaman piringan hitam dan kaset yang kemudian beredar saat itu. Duet dengan Yetty diterbitkan dalam bentuk piringan hitam dan kaset. Khusus untuk duet dengan Hetty Koes Endang diterbitkan dalam sebuah kaset kompilasi khusus yang berisikan lagu-lagu finalis World Popular Song Festival 1977.

Versi Yuni Shara yang baru saya dengarkan beberapa hari ini agak sukar membuat saya bahagia karena beberapa alasan : tidak adanya nyanyian harmoni atau bersahutan yang menjadi kekuatan utama lagu, adanya cuplikan motif lagu sontrek James Bond usai bait satu yang jelas tidak diperlukan, aransemen dan orkestrasi yang riweuh memecahkan konsentrasi saya pada melodi dan keutuhan lagu, kesan suara instrumen yang modern (manipulasi elektronis?) sehingga terasa steril banget, tidak kasar seperti dibawakan oleh Adjie Bandy, dan saya tidak dapat mengerti kenapa Yuni Shara harus mengucapkan kata “semua” dengan “e” lemah sehingga mirip “summua…”. Saya merasa lagu ini akan selalu terasa lebih pas bila tidak dibawakan dengan pemanis yang terlalu dibuat-buat. Oya, belakangan pianis Nico Bandy, anak Adjie Bandy, membawakan lagi “Damai Tapi Gersang” bersama grupnya Acoustic Punch dalam album pertama mereka “Debut”. Sayangnya saya belum pernah dengar yang terakhir ini.

Lagu “Damai Tapi Gersang” buat saya sangat menarik terutama saat belajar memainkan gitar pada waktu SMP dulu. Banyak akor gitar lagu-lagu lain yang cukup mudah saya kenali hanya berdasarkan perasaan saja, namun untuk lagu ini ternyata saya mendapatkan kesulitan. Melodi lagu yang tidak terlalu biasa dibandingkan lagu-lagu pop lainnya saat itu membuat saya maksa untuk terus dapat memainkannya dengan baik. Rangkaian akornya tidak biasa buat saya saat itu, terutama pada perpindahan nada minor ke mayor, dan tangga-nada yang terus dinaikkan pada bagian akhir lagu. Ya saya cukup disibukkan untuk mendapatkan rangkaian akor gitar lagu ini.

Setelah itu persoalan belumlah selesai, karena cara menyanyikannya pun cukup unik. Memasuki bait kedua, lagu dinyanyikan secara bersahutan atau susul-menyusul, mirip dengan Scarborough Fair-nya Simon & Garfunkel. Saya yang sama sekali tidak pandai menyanyi harus jungkir balik agar dapat menyanyikannya dengan harmonis bersama seorang teman lain. Perlu waktu cukup lama untuk dapat memainkan lagu “Damai Tapi Gersang” menggunakan gitar sambil bernyanyi harmoni. Setelah agak bisa, saya ketagihan menyanyikannya hingga bertahun-tahun dan memasukkan lagu ini dalam the soundtrack of my life hingga sekarang…

Mungkin ada yang merasa saya lebay mengaitkan keseluruhan perjalanan Aleut! Patahan Lembang kemarin dengan “Damai Tapi Gersang”, tapi tak apalah, saat ini saya hanya sedang ingin menggunakan hak saya untuk subjektif tanpa diganggu-gugat. Bagi yang ingin turut menikmati lagu “Damai Tapi Gersang” versi duet dengan Yetty, nanti saya coba bikinkan linknya untuk download.


Dan kini tiba saatnya
Bahagia datang padanya
Semua saling mencinta di kedamaian yang ada

Tulisan geje ini saya persembahkan juga bagi teman-teman yang baru patah hati, kesepian, dan aral.
Life’s too short to waste away thinking about love while actually it is all around you.

Ridwan Hutagalung
Pecinta Lagu

Damai Tapi Gersang WPSF Tokyo 1977B
Yang mana Adjie Bandy?